Assalamu’alaikum pembaca muslimcirebon.com. Semoga
ketika membaca postingan ini kita semua dalam kondisi sehat ruhani dan jasmani.
Jika dalam kondisi yang kurang baik, semoga Allah mengabulkan doa, dan kembali
menjadikan kita sehat ruhani dan jasmani.
Langsung pada inti posingan ini, kami ucapkan selamat
membaca. Semoga bermanfaat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dalam
sebuah khutbah mengatakan, “Sesungguhnya Allah memberikan tawaran kepada
seorang hamba antara dunia dan apa yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu
lebih memilih apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis. Para sahabat yang lainnya
pun heran. Hingga akhirnya diketahui bahwa hamba yang dimaksud Nabi itu tak
lain adalah Abu Bakar. Mereka memeng mengakui keutamaan pribadi sahabat yang
juga mertua Rasulullah itu.
Dalam kesempatan lain, Nabi menyebut orang yang paling
besar jasanya dalam persahabatan dan kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu
Bakar. "Andai saja aku diperbolehkan memilih kekasih selain Rabbku, pasti
aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Tapi cukuplah antara aku dengan
Abu Bakar ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam," kata
Rasulullah.
Sayyidina Abu Bakar termasuk kelompok orang yang paling
awal masuk Islam (as-sâbiqûnal awwalûn). Selain loyalitasnya yang sangat tinggi
terhadap Rasulullah, ia juga dikenal sebagai sosok yang amat zuhud dan punya
keistimewaan lebih dari para sahabat lain. Reputasi di mata Nabi dan
sahabat-sahabat inilah yang membuatnya dipercaya mengemban amanat sebagai
khalifah pertama selepas Rasulullah wafat.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan
Sayyidina Abu Bakar, baik melalui keteladanannya atau petuah-petuah yang
disampaikannya. Salah satu yang bisa ditimba adalah cerita tentang saat-saat
beliau menjelang wafat.
Seperti ditulis dalam kitab Anîsul Mu'minîn karya Shafuk
al-Mukhtar, suatu kali Sayyidah 'Aisyah, putri beliau yang juga istri
Rasulullah, datang kepada Abu Bakar yang kala itu sedang sakit.
"Wahai Ayah, bagaimana bila aku panggilkan
dokter?" tanya 'Aisyah.
"Ayah sudah ditangani dokter."
"Lalu apa kata dokter?" tanya 'Aisyah
penasaran.
"Ayah boleh melakukan apa yang Ayah inginkan."
Pernyataan dokter semacam ini menunjukkan bahwa sakit Abu Bakar cukup parah dan
mendekati kematian.
"Dengan kain mana aku nanti mengafani jenazah
Ayah?"
"Dengan baju yang biasa aku pakai saat makmum shalat
bersama Rasulullah."
"Baju itu sudah usang. Apa tidak sebaiknya aku
belikan kain kafan yang baru?" tanya 'Aisyah.
Jawab Abu Bakar, "Orang hidup lebih berhak atas
sesuatu yang baru ketimbang orang mati."
Dialog 'Aisyah dan Abu Bakar tersebut membuktikan kematangan
psikologi mereka dalam menyikapi fenomena kematian. Kematian bukan hal yang
menyeramkan. Mati pasti terjadi sebagai jembatan berjumpa seorang hamba kepada
Rabb-Nya, lalu mempertanggungjawabkan apa yang manusia perbuat selama di dunia.
Pilihan Abu Bakar agar dikafani menggunakan baju lusuh
yang biasa dikenakan saat shalat berjamaah dengan Nabi mengesankan setidaknya
dua hal. Pertama, kecintaan beliau yang begitu mendalam terhadap Rasulullah.
Kedua, bukti kebersahajaan Abu Bakar yang istiqamah, saat hidup hingga maut
menjemput.
Yang paling menarik adalah saat ia menjawab tawaran
'Aisyah yang hendak membelikan kain kafan baru. Ia menampiknya dengan alasan
bahwa barang baru hanya layak untuk orang hidup, bukan orang mati. Pernyataan
yang terakhir ini sejatinya bukan sekadar penolakan, melainkan pula pesan untuk
mereka yang masih hidup bahwa gemerlap duniawi tak lagi relevan ketika jasad
seseorang sudah tertimbun di dalam tanah. Wallahu a'lam. (Mahbib)
Sumber: nu.or.id
Selesai untuk postingan ini. Terima kasih sudah
membacanya. Semoga Allah SWT memberikan anugerah yang besar pada kita
semua.